Membasuh Penat di Sejuknya Air Terjun Cunca Rede
Suara gemuruhnya sudah terdengar dari kejauhan, seperti memanggil – manggil langkah kaki untuk segera mendekat. Saya mengunjungi tempat ini pada akhir September 2016 silam. Dari Ruteng, kami mengendarai mobil melewati jalan trans Flores, menuju Borong, Manggarai Timur. Di kampung Paka, tepat 12 km sebelum Borong, kami berbelok ke kanan menuju kampung Papo. Jalannya sempit dengan kondisi jalan beraspal yang telah rusak. Kampung Papo berjarak 7 km dari jalan trans Flores. Di sini kami sudah ditunggu oleh dua orang saudara sepupu yang siap mengantar kami ke air terjun Cunca Rede, destinasi yang akan kami kunjungi.
Cuaca pagi di penghujung musim kemarau itu sangat cerah. Beruntung, alam kampung Papo dan Wae Musur masih menyediakan kesejukan memadai untuk memberi energi bagi sebuah petualangan kecil. Dari Papo, mata kami lurus tertuju ke utara, pada deret pegunungan Mandusawu yang terbentang membiru. Kabut pagi masih terjebak di beberapa titik di lembah yang hijau. Kami berjalan menyusuri kebun – kebun Kopi dan Kakao, lalu menapaki pematang sawah dengan hamparan padi yang hijau.
Kesejukan semakin terasa kala menyusuri tepi sungai Wae Musur yang debit hulunya tak banyak berubah saat musim hujan dan kemarau. Kami menyeberangi sungai untuk sampai ke wilayah desa Sanolokom. Desa ini merupakan desa tepi hutan kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Ruteng. Keberadaan hutan TWA Ruteng memberikan berkah berlimpah bagi desa ini. Air yang melipah, udara yang sejuk dan tanah yang subur. Itu sebabnya desa ini sangat asri dan hijau. Keberadaan sungai Wae Musur yang membelah desa, telah memberi manfaat yang sangat besar bukan hanya bagi Desa Sanolokom, tetapi juga desa – desa di sekitarnya, berupa aliran listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Mikro-Hidro (PLTMH) Wae Musur dengan daya 1,25 MW.
Dari stasiun PLTMH ini, suara gemuruh air terjun Cunca Rede semakin kuat memanggil. Lokasi air terjun sangat dekat dengan perkampungan, hanya sekitar 1 km. Sebuah bukit kecil menutupi air terjun dari pandangan mata. Kami berjalan menyusuri lembah di tepi sungai Wae Musur hulu untuk mencapai air terjun. Hawa sejuk khas hutan hujan tropis menyelimuti kami. Kicauan burung berjuang menyela gemuruh air. Hanya butuh waktu 5 menit bagi kami untuk menuntaskan perjalanan di lembah sisi timur bukit kecil di depan air terjun, dan sebuah pemandangan menakjubkan terpampang di hadapan kami.
Air terjun setinggi lebih dari 30m dengan debit air (dalam perkiraan saya) mencapai 5 – 8m3 / detik itu lah yang menghasilkan sura gemuruh yang hebat. Kami hanya bisa mengeluarkan kamera untuk memotret pada jarak lebih dari 25 meter dari kolam di kaki air terjun. Kamera kami yang tidak dilengkapi pelindung anti air membuat kami sulit melawan percikan air dari kolam.
Puas mengambil gambar, kami berjalan mendekati air terjun. Tak lama, tubuh kami pun basah kuyup. Berada di dalam kawasan air terjun, kita seperti sedang terjebak dalam ruangan alam yang tertutup. Hanya ada pintu kecil di selatan tempat air sungai mengalir di antara himpitan batu – baru seukuran mobil. Lereng bukit yang rimbun ditumbuhi pepohonan menghimpit lajur sungai. Di kiri – kanan air terjun, hutan hujan yang lebat memberi kesan alam yang masih perawan. Tidak berlebihan jika kita akan melupakan banyak hal jika berada di tempat ini. Tak ada suara – suara lain yang terdengar, kecuali gemuruh air dan sesekali kicau burung yang bersaura nyaring. Selebihnya, jangan berharap bisa ngobrol mulus di tempat ini. Suara kita tak bakal didengar lawan bicara. Saya langsung menempatkan air terjun ini sebagai “The best natural healing spot”.
Saat kami berkunjung, kolam air terjun ini tidak bisa digunakan karena dipenuhi onggokan kayu – kayu yang terseret air sungai di musim penghujan sebelumnya. Jika kolam ini dibersihkan, tak bisa dibayangkan betapa dahsyatnya pengalaman berendam di kolam air sejuk sembari dipijat bulir air yang jatuh dari ketinggian 30 meter!
Tak kuat menahan dingin, kami memutuskan untuk keluar dari air terjun dan mendaki ke arah bukit di sisi barat air terjun. Jalannya cukup terjal tetapi tidak terlalu sulit untuk dilalui. Di atas bukit kecil ini, kekaguman itu mencapai puncaknya. Di sini kami memandang keseluruhan air terjun dengan leluasa, sambil menikmati kicauan burung di sana – sini. Puncak bukit ini berupa sebuah dataran seluas 30 x 20 meter. Tempat yang sempurna untuk menikmati kesunyian dan mendirikan tenda. Sayangnya, keunjungan kami saat itu hanya merupakan kunjungan singkat selama sehari, sehingga tak ada persiapan untuk berkemah.
Jika ada yang bertanya, tempat di Flores yang ingin saya kunjungi saat ini, Cunca Rede selalu saya tempatkan di posisi pertama dalam wishlist. Tentu saja, akan berkemah di puncak bukitnya yang teduh!