Pertemuan Paling Menguras Emosi Dengan Celepuk Flores

8 2,806

Selain pekerjaan menjadi pawang hujan, satu hal lagi yang begitu sulit dilakukan oleh orang – orang di Ruteng, Flores adalah bangun pada pagi hari menjelang subuh! Bagaimana tidak, suhu udara di ketinggian 1.300 mdpl itu akan mencapai titik paling dinginnya pada pukul 02.00 – 04.00 AM. Bagi orang yang hidup di daerah tropis, suhu 12°C adalah sebuah masalah. Tetapi itulah yang kami lakukan bersama para birder dan naturalist asal negeri Kanguru, Australia pada 12 Juni 2018 kemarin. Hari itu adalah hari ke lima dari rangkaian sepuluh hari tour pengamatan burung Komodo-Flores-Sumba kerja sama Wildiaries Australia dipandu Scott Baker dan Flores Bird Watching dipandu saya (tentunya) :-p 😉 😀

Kondisi tubuh yang lelah setelah semalam pulang dengan tangan hampa dari kawasan Golo Lusang dalam usaha pencarian (Burung hantu) Celepuk Wallacea (Wallace’s scops Owl) adalah hal pertama yang harus kami atasi. Durasi tidur kurang 4 jam sejak hari pertama, ditambah aktifitas penuh di lapangan dan perjalanan panjang di kondisi jalan yang buruk masih harus ditambah dengan suhu dingin dan angin yang bertiup cukup kencang. Secangkir kopi tanpa gula, ternyata tidak cukup melawan dingin di pagi itu. Pukul 04.00, kami meninggalakan Revayah Hotel di Ruteng menuju kawasan hutan Ranamese. Tiga buah mobil yang kami tumpangi melaju kencang beriringan menembus pagi yang masih gelap. Tiga puluh menit kemudian kami sudah sampai di titik pengamatan. Target kami pagi itu adalah Celepuk (burung hantu) Flores (Flores Scops-Owl), yang merupakan burung hantu asli (endemik) pulau Flores.

Scott yang beberapa bulan sebelumnya juga melakukan observasi pre-tour di kawasan Ranamese, memilih spot pengamatan pagi itu. Scott benar, hanya berselang beberapa menit, dua ekor Celepuk Flores mengeluarkan suara khasnya dari balik rimbunan pepohonan di tepi jalan lintas Flores. Hampir tiga puluh menit, kami hanya bisa mendengarkan suara mereka bersahutan, tanpa sedikitpun melihatnya. Kami kesulitan bergerak mendekati sumber suara karena kodisi lokasi pengamatan di tepi jurang yang cukup terjal. Rasa was-was mulai muncul, mengingat langit sudah mulai tampak remang – remang pertanda sebentar lagi matahari akan terbit. Pengamatan Celepuk Flores terancam gagal, jika sampai tidak menemukannya hingga cahaya matahari telah menerangi kawasan hutan dan mereka diam hinggap di tempat peraduannya.

Saya memutuskan untuk memisahkan diri dari tim dan berjalan ke arah utara sejauh 500 m, menyusuri jalan raya dan kemudian masuk ke dalam hutan yang lebih landai. Tanpa menunggu lama, sekelompok Celepuk berukuran mini ini mengeluarkan suara bersahut – sahutan dari dahan – dahan sedang setinggi + 4 – 5 m di atas permukaan tanah. Langit tampak mulai terang. Kondisi ini membuat saya lebih mudah memantau pergerakan burung – burung di dahan melalui gerak siluet. Saya tidak menyorotkan cahaya, dengan tekad bahwa saya harus tahu di mana mereka akan berhenti! Ini jelas sebuah tindakan yang agak gila. Melihat kondisi hutan yang mulai tampak terang, saya yakin bahwa sebentar lagi kawanan Celepuk ini akan berhenti terbang. Pupil mata yang lebar pada Celepuk Flores tidak sanggup menampung jumlah cahaya yang banyak, yang menyebabkan mereka kesulitan melihat dengan jelas pada intensitas cahaya yang tinggi.

Hampir satu jam saya di sana dan mengikuti ke mana mereka hinggap. Matahari telah bersinar dari balik perbukitan sebelah timur. Sepertinya mereka sudah menghentikan petulangannya pagi itu dan siap untuk beristirahat. Saya keluar dari hutan dan berlari hampir 1 km menuju lokasi tim berkumpul. Mereka telah berhenti mencari Celepuk dan siap melanjutkan pengamatan burung endemik lainnya. Ketika saya sampai, tampak sekali raut kekecewaan di wajah mereka. Saya berusaha meyakinkan mereka bahwa saya telah menemukan tempat peraduan Celepuk yang paling kami cari.

Semua anggota tim menanggapi dengan dingin, mungkin mereka takut kecewa untuk kesekian kalinya. “Well, okay..we try..” Scott mencoba menyuntikkan semangat ke para birder, meski dia sendiri tidak yakin. Tampak dari raut wajah dan gerak tangannya yang dihempas ke luar. Bagi saya sendiri, ini adalah pertaruhan! Jika berhasil maka kegagalan menemukan Celepuk Wallacea dalam dua hari terakhir bisa sedikit dilupakan, tetapi jika gagal maka saya hanya akan menjadi hembusan angin dalam tim ini, I will be nothing for this team. I’m useless! Seluruh tim bergegas masuk ke dalam mobil masing – masing dan berbalik arah menuju titik yang saya maksudkan.

Saat mobil kami berhenti di tepi jalan, masih terdengar suara celepuk bersahut – sahutan. Saya semakin yakin bahwa kami pasti akan menemukan apa yang kami cari. Kami masuk ke dalam hutan yang sudah mulai disusupi cahaya matahari. Posisi celepuk – celepuk ini sudah berubah dan terpisah satu sama lain pada rentang jarak lebih dari 30 m! Ini jelas bukan kondisi yang membahagiakan. Kurang dari sepuluh menit kami mencari – cari sumber suara tetapi belum menemukannya,  kepanikan pun menghampiri. Para celepuk ini serempak diam dan kami tidak tahu mereka entah di mana.

Dalam keputusasaan, Scott memandu anggota tim yang lain masuk lebih jauh ke dalam hutan untuk melanjutkan pengamatan burung yang lain. Saya tetap bertahan dan bertekad untuk memberikan yang terbaik bagi tim di hari itu. Saya yang meyakinkan mereka untuk kembali ke spot ini, dan saya tidak akan membiarkan mereka pergi tanpa bertemu si Celepuk kebanggaan kami orang Flores! Sendirian dengan rasa kalut bercampur aduk di kepala, saya menyusuri hutan dan memeriksa dahan demi dahan. Matahari bertambah tinggi. Jam menunjukkan hampir pukul 7 pagi!

“Ini hal yang hampir mustahil” Saya menggerutu pada diri sendiri. Tiba – tiba pada jarak kurang dari 5 meter di depan saya ada sesuatu yang terbang rendah lalu hinggap di dahan setinggi kurang dari 2 meter, menyelinap di balik dedaunan. Dengan perasaan berdebar – debar saya mengendap – endap mendekati rimbunan. Dari ukuran tubuh, cara terbang dan warna bulunya, saya yakin jika itu adalah Celepuk Flores. Jantung berhenti sesaat, ketika sepasang mata bundar membelalak menatap ke arah saya pada jarak yang sangat dekat, kurang dari 4 meter! Saya meraih kamera dan mulai memotret, laksana menghujamkan peluru pada musuh paling dicari sepanjang masa. tanpa ampun! Dia di sana berhenti bergerak, membeku, membatu! Matanya membelalak tak berkedip sedikitpun. Ini kali pertama saya melihat Celepuk Flores di siang hari dan dalam jarak sedekat ini. Unbelievable!!! 

Setelah beberapa menit mengabadikan pertemuan paling intim ini, saya meletakkan kamera pada monopod bersandar di pohon tepat di mana saya menemukan Celepuk ini, sebagai penanda. Saya kemudian berkeliling mencari anggota tim yang lain tetapi tidak saya temukan. Mereka telah pergi ke sisi yang lain! Entah di mana 🙁

Saya berteriak di dalam hutan memanggil mereka tetapi tidak ada satu pun yang menyahut. Saya bergegas ke jalan raya tempat mobil – mobil diparkir tetapi tidak menemukan mereka. Saya kembali ke dalam hutan dan menemukan kamera saya masih pada posisi semula tetapi si celepuk telah pergi. Saya terkulai, lalu dengan penuh kekecewaan kembali ke jalan raya dan mendapati seluruh anggota tim telah meninggalkan lokasi kecuali Simon Mustoe sang pendiri Wildiaries dan Charlie, birder cilik berusia 13 tahun yang adalah putra Simon. Simon meminta saya untuk kembali ke dalam hutan dan menemukan kembali si Celepuk. Pukul 08.05, perut sudah mulai mules karena lapar.

Sejujurnya saya sangat yakin akan menemukan Celepuk itu, tetapi tidak bisa berjanji pada Simon. Alam berbaik hati. Hanya berjalan kurang – lebih 20 meter, kami langsung menemukan si Celepuk bertengger masih di dahan rendah! Berawal dari suara cenggukan pendek khasnya, saya meneliti ke dalam rimbunan pepohonan setinggi 2 meter. Dia di sana bertengger di dahan paling bawah. Saya nyaris saja menjerit! Simon segera mengambil perlengkapannya untuk memotret dan membuat video. Charlie yang duduk mengintip melalui binocular-nya tampak sumringah dalam kekaguman. Puas menemani Simon dan Charlie, saya kembali ke jalan dan meminta Deus, sang driver untuk mengejar tim yang lain dan meminta mereka kembali. Sepuluh menit kemudian mereka tiba dan langsung masuk ke lokasi Celepuk bertengger. Seluruh tim berhasil mengabadikan momen langka itu! 30 menit kami di sana bergantian mengambil posisi terbaik, dan si Celepuk hanya diam memandang ke arah kami tanpa sedikitpun bergerak.

Suasana pagi berubah 360°! Kami kembali ke mobil dan menikmati sarapan nasi goreng yang serasa menjadi nasi goreng paling enak yang pernah disantap! Burung – burung bernyanyi riuh di dahan – dahan, seakan tahu apa yang kami rasakan. Lelah dan kantuk telah pergi entah ke mana. Matahari merambat perlahan, sinarnya pecah di dahan – dahan hutan Ranamese yang basah oleh embun. Semoga si Celepuk juga bahagia di sana, di dahannya yang teduh. Wajah cantiknya kini siap dikenalkan ke seluruh dunia di laman Wildiaries agar ia makin dicintai dan rumahnya tetap terjaga. Teriring asa, orang Flores bangga dengannya,  setia menjaganya, menjaga hutan, menjaga rumahnya!

8 Comments
  1. Njiak says

    Kerja keras dan usaha yang terbayar!

    1. Jagarimba says

      Di hari yang tepat 😉

  2. Ino says

    Luar biasa e om

    1. Jagarimba says

      Biasa di luar 😀

  3. Ino says

    Luarbiasa e om

  4. Armin Bell says

    Hiaaa… salut!

    1. Jagarimba says
  5. Febriani Djenadut says

    Ruwar biyasaaak, macam di felem-felem! Semangat, Om Yovie. Hard work pays off.j

Leave A Reply

Your email address will not be published.