Tenggelam Di Heningnya Telaga Rana Ka

16 3,451

Tidak banyak yang bisa dilakukan di Ruteng selama musim penghujan. Intensitas hujan di kota berpenduduk 82.000 jiwa ini adalah yang paling tinggi di Nusatenggara yakni 1500 -3000 mm/tahun. Suhu yang dingin khas daerah di atas 1000mdpl ditambah kabut yang kerap menyelimuti kawasan lereng Mandosawu merontokkan keinginan orang – orang di kota ini untuk beraktifitas di luar rumah. Pekerjaan paling mungkin adalah bersantai dan menandaskan bercangkir – cangkir kopi. Itulah yang saya lakukan di Sabtu pagi, 1 Februari kemarin. Bangun pagi disambut suasana yang basah dan dingin. Diam di rumah dengan secangkir kopi yang selalu terisi di depan mata adalah akhir pekan yang paling masuk akal.

Celakanya, akhir – akhir ini, saya sedang dalam kondisi sangat fit. Yap, saya merasa begitu. Setiap hari selalu ada dorongan untuk meninggalkan  rumah entah bersepeda demi target 2000km selama tahun 2020, atau menjelajah hutan, sawah, kebun – kebun kopi dan semak di sekitar kota Ruteng. Pukul 10 pagi, gerimis tak juga berhenti. Saya memutuskan untuk meninggalkan rumah, tanpa tujuan yang jelas, hanya ingin keluar saja, mungkin beberapa kilometer dari kota.

Saya memacu sepeda motor di bawah gerimis, menuju ke arah timur melewati jalan trans Flores. Sampai di kampung Poka, hujan lebat sedang menunggu. Segeralah saya melipir mencari tempat berteduh. Ada jas hujan di jok sepeda motor. Saya lebih memilih berteduh saja. Sebab jas hujan itu berwarna pink dengan motif bunga – bunga warna putih. Beruntung, tak sampai 30 menit, hujan akhirnya meredah, berganti gerimis yang pastinya masih bisa diterjang. Tujuan saya mulai jelas yakni ke trek gunung Ranaka.

Di Kampung Robo, saya berbelok ke kanan menuju gerbang pos jaga TWA Ruteng. 300 meter setelah pos jaga, saya memarkir sepeda motor dan mulai berjalan kaki. Gerimis mulai pergi dan sinar matahari menerpa lembut, masih terhalang kabut. Saya tidak berpikir akan mendaki menuju puncak Ranaka (2292mdpl). Saya berjalan perlahan sambil mengamati dan memotret burung – burung yang dijumpai. Beberapa kali gerimis masih sempat turun, tetapi hanya sebentar. Berganti kabut, cerah, gerimis, kabut, dan selanjutnya terus begitu.

Tanpa disadari, sudah lebih dari satu jam. Saya tiba di km 9, di mana biasanya orang berhenti untuk melihat panorama puncak gunung berapi Nampar Nos atau Anak Ranaka. Saya berhenti sebentar di lopo perhentian. Hujan turun lumayan lebat, tetapi hanya sebentar. Nampar Nos tak tampak. Kabut tebal hanya memberikan ruang pandang kurang dari 50m. Saat itu saya sudah tahu bahwa saya akan mencapai puncak Ranaka.

Perjalanan saya lanjutkan di bawah cuaca yang lebih bersahabat. Hujan benar – benar berhenti, meski kabut masih menyelimuti lereng. Sesekali angin menyabu kabut pergi, matahari bersinar dan di saat itu burung – burung berkicau bersahutan dari dalam hutan dan semak  semak. Pada ketinggian 1970mdpl, saya berbelok masuk ke dalam hutan sejauh 20m. Ke sebuah telaga legendaris. Rana Ka. Rana adalah bahasa Manggarai untuk telaga / danau, Ka adalah Burung Gagak Flores. Dari nama telaga inilah orang menyebut nama gunung Ranaka.

Meski namanya tersohor, namun tak banyak yang mengetahui keberadaan telaga kecil seluas 500m2 itu. Saat orang menyebut Ranaka, asosiasinya adalah puncak tertinggi Flores, Gunung Ranaka. Berdiri di tepi telaga kecil ini adalah salah satu pengalaman hening terbaik yang pernah saya alami. Gerimis kembali turun. Kabut yang menyusup dari celah pepohonan, memberikan kesan mistis dan teduhnya telaga ini. Air yang jatuh dari dedaunan menabuh irama ke atas permukaan telaga, menimpali keheningan yang teduh.

Telaga Rana Ka memiliki fungsi yang sangat vital. Secara kasat mata bisa dilihat, bahwa Rana Ka adalah penampungan alami sekaligus corong rakasasa bagi air hujan menuju mata air Wae Reno yang berjarak beberapa meter saja dari telaga.

Sebagai satu – satunya lahan basah di kawasan puncak, Rana Ka adalah sumber air bagi satwa – satwa yang hidup di lokasi itu terlebih khusus di kala musim kemarau. Kelestarian telaga ini, sangat menetukan kelangsungan hidup satwa endemik yang hanya mendiami ketinggian puncak Ranaka seperti Cingcoang Flores.

Rana Ka
Suasana Rana Ka

Sesekali, burung berkicau dari dahan – dahan rendah di tepi telaga. Burung endemik Flores, Cingcoang Flores dan Cikrak Daun Flores adalah dua jenis yang paling dominan di telaga ini. Kicauan teduh Uncal Buau dan Walik Putih dari dahan tinggi menambah kesan teduh di tepi telaga. Keheningan telaga Ranaka adalah sesuatu yang istimewa dan mahal di tengah makin riuhnya suara  dan bunyi yang masuk ke telinga manusia saat ini.

Selain polusi udara yang memasuki fase kritis, saat ini polusi suara juga telah menyeret manusia serta spesies satwa ke dalam kondisi frustrasi. Dalam satu hari, diperkirakan ada 3000 hingga 20.000 jenis suara yang masuk ke dalam gendang telinga manusia. Kondisi ini menyulitkan manusia mengolah informasi yang masuk. Orang – orang yang terpapar polusi suara akan renta mengalami stres dan mudah marah. Hal ini diakibatkan oleh lalu-lintas informasi yang melampaui batas toleransi penerimaan informasi oleh syaraf.

Kebutuhan akan keheningan alam adalah hal mutlak saat ini. Keheningan inilah yang disuguhkan telaga Rana Ka. Setelah menikmati terapi gratis dan dimanjakan keajaiban alam, saya meninggalkan recorder di tepi telaga lalu beranjak melanjutkan perjalanan ke puncak Ranaka.

Perjalanan menuju puncak jauh lebih berenergi. Selain karena merasa telah di-recharge di Rana Ka, cuaca sangat bersahabat, cerah berawan. Angin bertiup lambat dan trek yang baik. Beberapa kali berjumpa dengan satwa liar dan burung, rasanya benar – benar menikmati perjalanan yang istimewa.

Oh iya, di Puncak Ranaka kondisi semakin baik setelah sampah baja bekas menara salib yang roboh telah diangkut dari sana. Kini kondisi puncak Ranaka sedikit lega dan lapang. Berharap suatu saat, ada upaya entah dari siapa untuk menghilangkan bangunan – bangunan di puncak Ranaka, sehingga benar – benar bersih dari benda – benda yang tidak perlu.

Puncak Gunung Ranaka
Puncak Gunung Ranaka

Cuaca yang semakin membaik saat perjalanan turun dari puncak saya manfaatkan untuk memperlambat langkah kaki, berhenti di setiap titik dan mengamati apapun yang dijumpai. Total waktu yang saya butuhkan untuk sampai ke puncak adalah 2 jam 40 menit, berbanding 1 jam 10 menit waktu untuk turun. Tak ada persiapan logistik, kecuali sebotol air minum yang selalu ada di dalam tas. Alam membius saya, untuk melupakan rasa lapar dan haus.

Pukul 4 lewat 20 menit, saya meninggalkan telaga Rana Ka. Pada perjalanan pulang, cuaca yang cerah menyuguhkan pemandangan Nampar Nos diterpa sinar matahari senja yang mempesona, seperti sebuah adegan pamungkas, semua atraksi keindahan alam hari itu.

Nampar Nos
Nampar Nos
16 Comments
  1. Dion says

    D atas tu ada kapela, apa itu bangunan yg tdk perlu?

    1. Jagarimba says

      Bangunan yg mana pak Dion? Itu yg ada salib di atasnya? Tidak ada sedikitpun kondisi bangunan yg menunjukkan jika itu kapela om. Tidak terurus dan tidak berfungsi semestinya. Penuh coretan kata2 makian di dalamnya. Sampah dan bau pesing. Tabe

  2. Yuvensius janggat says

    hormat pak Yovie
    Terimakasih untuk tulisan bermanfaat ini
    Sukses selalu
    Salam cinta bumi

    1. Jagarimba says

      Salam hormat om Yuvens, terima kasih.

  3. Oka Dasilva says

    Mantap e toa..

    1. Jagarimba says

      Trmksih amang..

  4. Siprianus Sunargun says

    Luar biasa e… Anak ganteng

    1. Jagarimba says

      Trmksih Bp Ipi.

  5. Rosi Wahang says

    Informasi yg sangat penting, saya baru tau, makasih banyak Bung
    Sukses Jaga Rimba

    1. Jagarimba says

      Trmksih bnyak mekas.

  6. Tour Komdo says

    Ini sangat spesial kegiatanya. Sedikit membaca beberapa post di webnya. Sangat menarik karena menjadi referensi bagi pembaca dan menambah pengetahuan. Narasi ceritanya menarik. Trims utk share tentang Rana Ka…

    1. Jagarimba says

      Terimkasih sdh berkunjung, om. Salam.

  7. Rq says

    Luarrrr biasa…

    1. Jagarimba says

      Olahraga eta hitu de kaé

  8. Reni says

    Tulisan yang sangat menarik, sayang foto foto nya pas lagi kabut ya

    1. Jagarimba says

      Terimksih. Maklum perginya saat hujan bu. 🙂

Leave A Reply

Your email address will not be published.