Anggrek – Anggrek Menawan Di Hutan Mandosawu

0 546

Pandemi covid-19 mengubah banyak hal dan banyak kebiasaan. Salah satu kebiasaan yang mendadak naik daun adalah budidaya tanaman hias serta sayuran di halaman dan pekarangan rumah. Mungkin ini salah satu cara orang – orang khususnya para ibu mengatasi kebosanan selama periode bekerja dari rumah dan pengurangan aktifitas di tempat umum.

Media – media sosial penuh dihiasi foto – foto tanaman dalam pot – pot yang cantik. Dalam waktu sekejap,  para ibu yang dulunya hanya tahu nama bunga Mawar, Melati dan Cocor Bebek,  kini mulai familiar dengan nama – nama bunga dan tanaman eksotis dari tempat yang jauh dan asing. Mereka mendadak menjadi begitu ahli soal spesies – spesies eksotis ini. Beberapa jenis di antaranya menjadi buruan dengan harga yang terus melambung.

Saya juga tergoda untuk bercebur ria dalam euforia tanam – menanam ini. Saya penasaran, mengapa ada beberapa tanaman hias yang sekilas tampak biasa – biasa saja, tetapi begitu populer. Beberapa juga memang benar – benar eksotis karena didatangkan dari iklim yang benar – benar asing.  Sampailah saya mulai menyusuri hutan – hutan di sekitar Ruteng, untuk mengetahui apakah belantara Mandosawu juga dihuni tanaman – tanam eksotis seperti yang ditanam orang – orang ini.  Angrek (Orchidaceae) adalah target pertama saya.

Beberapa lokasi yang saya datangi yakni Golo Lusang, Poco Likang, Wae Mantar, Ranaka dan Ranapoja. Tidak butuh waktu lama bagi saya untuk segera terpesona pada apa yang disembunyikan hutan Mandosawu ini. Dengan penjelajahan yang tidak benar – benar serius dan intens, saya mengumpulan data 36 jenis Anggrek yang terdiri dari 12 anggrek terestrial dan 26 anggrek epifit. Oh iya, bagi yang awam dengan dua istilah ini, Terestrial artinya tumbuh di atas tanah atau batu sedangkan Epifit adalah tumbuh menumpang pada tanaman/pohon yang lain.

Penampakan Anggrek jenis epifit pada sebatang pohon di Poco Likang

36 jenis ini tentu saja jauh dari jumlah sesungguhnya yang diperkirakan hampir mencapai 80 Jenis. Penggalian data spesies Anggrek sesungguhnya pernah dilakukan  oleh dua peneliti dari Kebun Raya Bali yakni Ni Kadek Erosi Undaharta dan I Nyoman Lugrayasa. Pengamatan dilakukan pada 7 – 20 Oktober 2006 silam dengan cakupan wilayah yang tidak terlalu luas yakni Golo Lusang dan Ranaka. Hasil pengamatan yang dipublikasikan di Buletin Kebun Raya Indonesia pada Juli 2007 itu memuat 58 jenis Anggrek yang dijumpai pada rentang ketinggian 1100 – 1700 mdpl.

Melihat bahwa hasil pengamatan saya masih jauh dari potensi sesungguhnya, bahkan belum mendekati jumlah spesies yang didokumntasikan Undaharta dan Lugrayasa, adrenalin saya tiba – tiba terpacu untuk menjelajah lebih jauh ke dalam ceruk – ceruk hutan, dan mendokumentasikan lebih banyak jenis lagi.

Potensi Anggrek di Flores sebenarnya patut diperhitungkan. Pada tahun 2009, LIPI mengumumkan ditemukannya spesies Anggrek endemik Flores yang diberi nama Dendrobium floresianum. Anggrek ini pertama kali ditemukan oleh Destario Metusala dari LIPI dan O’Byrne dari Singapore pada tahun 2006.

Penemuan ini diakui oleh Metusala sebagai penemuan ‘yang tak disengaja’. Butuh waktu 3 tahun hingga spesies ini benar – benar diakui dan terbukti sebagai spesies endemik Flores. Penemuan spesies endemik secara ‘tidak sengaja’ sesungguhnya memberikan gambaran bahwa jauh di balik data spesies yang ada saat ini, terbuka kemungkinan spesies – spesies yang lain bersembunyi dan belum terekspos. Sebagai hutan hujan terbesar di Flores, Mandosawu adalah sebuah ceruk raksasa. Maka dari itu,  pencarian yang lebih sungguh – sungguh harus dilakukan demi mendapatkan gambaran menyeluruh tentang persebaran spesies Anggrek di Mandosawu maupun di Flores umumnya.

Beberapa Jenis Anggrek di Hutan Mandosawu TWA Ruteng

Sampai saya menulis ini, saya belum secara langsung bertemu dengan Dendrobium floresianum, si cantik asli Mandosawu itu. Tetapi secara morfologi, sepertinya saya pernah menjumpainya di waktu sebelum saya tertarik mengamati Anggrek. Saya pun berkeras harus bisa menemukannya lagi.

Pendataan dan publikasi keanekaragaman Anggrek ini sebenarnya dilematis. Kita mau agar kekayaan flora endemik ini terpublikasi dengan baik. Tetapi tanpa dibekali pengetahuan yang cukup, publikasi ini akan mendatangkan kerusakan bagi kawasan konservasi serta populasi spesies itu sendiri di alam. Ini merupakan tantang pada upaya konservasi dan perlindungan flora di TWA Ruteng ke depan, mengingat pembudidayaan pasti akan terus berlanjut maka perlu dilakukan sosialisasi bagaimana prosedur mengadopsi tanaman liar untuk dikembangbiakan di rumah.

Momentum demam tanaman hias yang juga menjangkiti ibu – ibu di Ruteng hendaknya menjadi momentum kita mencintai flora asli kita yang telah ada di sini sejak beribu tahun lalu. Ini saatnya kita menumbuhkan semangat kebanggaan pada endemisitas alam kita yang menawan ini, dan mengurangi upaya introduksi tanaman asing ke alam kita yang sejati telah kaya dan menawan.

Leave A Reply

Your email address will not be published.