Senjakala Danau Sanonggoang
Matahari selalu terlambat sampai di kampung Nunang. Saat cahaya pagi yang kemerahan telah hinggap di lereng Tewasano, kabut masih menutupi permukaan danau Sanonggoang yang teduh. Angin menyisir pemukaan air, menghempasnya lembut serupa ombak di tepian. Segerombolan besar Itik Alis (Anas superciliosa) dan Kambangan Australia (Aythya australis) mengapung di beberapa sudut danau, nyaris tak bergerak. Hari masih terlalu pagi.
Pagi hari adalah puncah pesona magis danau Sanonggoang. Danau seluas 513ha dan kedalaman mencapai 600m itu selalu ditutupi kabut tipis, membentuk bidang pendar putih transparan di permukaan air, dan di kolongnya, burung – burung air membiarkan tubuhnya terapung dalam kelompok – kelompok kecil dan besar. Dari lereng – lereng dan tepi danau, burung – burung menyesaki pagi dengan kicauan yang lantang. Bagitu juga di pagi berlangit cerah pada Jumát, 24 Januari 2020. Hari ini adalah hari ke dua saya menemani Donkyun Park seorang wildlife photographer dan diver asal Korea Selatan, melakukan pengamatan burung – burung di sekitar kawasan danau Sanonggoang.
Bagi para pengamat burung baik domestik maupun mancanegara yang datang atau berencana ke Flores, nama danau Sanonggoang tidaklah asing. Hampir pasti para birder ini menempatkan kawasan danau Sanonggoang sebagai salah satu di posisi atas daftar lokasi pengamatan. Kawasan yang terdiri dari habitat basah danau vulkanis Sanonggoang, Perkebunan warga Nunang serta hutan tropis kering perbukitan Tewasano adalah habitat potensial dan rumah bagi berbagai jenis burung yang menjadi target pengamatan. Dari data yang dikumpulkan oleh E-Bird, tidak kurang dari 100 spesies burung terekam di sekitar kampung Nunang, hutan Tewasano dan danau Sanonggoang. Tidak heran jika semua laporan pengamatan burung menempatkan Sanonggoang sebagai salah satu lokasi di Nusatenggara yang wajib dikunjungi.
Hari ini, seperti biasa kami memulai pengamatan dinihari sekitar pukul 4 pagi. Lokasi pertama adalah hutan kecil di belakang kampung Nunang yang menjadi lokasi penting pengamatan spesies nokturnal endemik Flores, Celepuk Flores (Otus alfredi). Sanonggoang adalah satu – satunya lokasi ditemukannya Celepuk Flores di luar kawasan pegunungan Mandosawu di Ruteng, Kabupaen Manggarai. Keberadaan Celepuk Flores di lokasi ini merupakan kabar menggembirakan bagi para pengamat burung yang tidak terlalu suka melakukan pengamatan di dalam hutan yang lebat. Bagi pemandu seperti saya, Sanonggoang adalah lokasi paling direkomendasikan untuk bertemu Celepuk Flores dibandingkan di TWA Ruteng.
Saat hari mulai terang, suasana lereng di belakang kampung Nunang benar – benar bising oleh kicauan aneka jenis burung. Gagak Flores (Corvus florensis), Perkici Flores (Trichoglossus weberi), Kehicap Flores (Monarcha sacerdotum), Celepuk Flores, dan Serindit Flores (Loriculus flosculus) adalah beberapa spesies endemik Flores yang cukup mudah ditemukan di lokasi ini. Saya sering berkelakar, jika di tempat ini banyak burung yang bertikai demi mendapat tempat bertengger di pagi hari.
Keanekaragaman jenis burung di Sanonggoang sejatinya telah populer jauh sebelum pariwisata Flores tumbuh seperti hari ini. Pada periode 1970, seorang misionaris Katolik asal Jerman, Pastor Erwin Schmutz, tinggal dan mengabdi sebagai pastor paroki Nunang. Di sinilah ia mengumpulkan banyak spesimen burung, untuk diidentifikasi dan diteliti. Spesimen – spesimen itu telah menjadi koleksi beberapa pusat penelitian zoologi di dunia, dan sebagian besarnya menjadi koleksi Naturalis Biodiversity Center, Belanda. Spesimen -spesimen itu telah menjadi rujukan penting bagi kegiatan penelitian, termasuk spesimen Mandar Lewin; Flores, (Lewinia pectoralis exsul) yang proses identifikasinya belum selesai sampai hari ini.
Kini ketika pariwisata Flores khususnya Labuan Bajo sedang bergeliat, Sanonggoang telah memiliki magnetnya sendiri untuk menarik wisatawan. Bentang alam yang menakjubkan serta letaknya yang terpencil, merupakan poin unggulan bagi Sanonggoang. Namanya kian populer seiring bertambahnya informasi yang dibagikan secara online dan bertambahnya deretan potensi wisata yang baru terungkap.
Om Petrus, bisa disapa om Pit, pengelola penginapan di tepi danau Sanonggoang adalah satu dari sekian banyak warga Nunang yang mulai merasakan dampak langsung dari kehadiran wisatawan di kawasan ini. Saya selalu menginap di penginapannya dan melihat sendiri seberapa intens para tamu menginap. Selain dirinya, ada beberapa rumah warga yang telah mempersiapkan diri dan rumah mereka sebagai homestay. Mereka yang tergabung dalam Flores Homestay Network menawarkan konsep live-in kepada wisatawan. Selain menyediakan penginapan, beberapa warga Nunang juga sudah sering menjadi porter dan pemandu lokal. Saya termasuk salah satu yang paling sering memakai jasa mereka untuk memandu para pengamat dan fotografer burung ke Tewasano dan atau puncak savana.
Alam yang indah, flora dan fauna yang kaya, keheningan desa yang terpencil serta keramahan warganya menjadikan Nunang benar – benar siap turut serta menikmati kue pariwisata. Sekurang – kurangnya hingga hari ini. Sayangnya, semua citra mengagumkan tentang Sanonggoang sepertinya akan segera berakhir. Sebentar lagi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi akan berdiri di halaman belakang kampung Nunang. Proyek ini dikerjakan oleh perusahaan milik negara (BUMN) yang bernama PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI). Ketenangan lembah Sanonggoang akhirnya terusik, bahkan jauh sebelum pembangkit listriknya berdiri.
Di dinding Mbaru Gendang Nunang, terpampang sebuah spanduk raksasa bertuliskan “Tolak Pengeboran Panas Bumi di Wae Sano”. Ini sudah cukup memberi sinyal betapa keheningan dan kedamaian lembah yang magis ini telah terhalau pergi. Seperti yang terjadi di kawasan tambang di manapun, pro dan kontra antara warga lokal tidak bisa dihindarkan. Biasanya, para investor tambang memanfaatkan friksi antar-warga sebagai sebuah keuntungan.
Setahun lalu, saya mendaki ke puncak Tewasano untuk melakukan pengamatan burung Serindit Flores. Sepanjang jalur pendakian, saya menemukan banyak tonggak yang diberi tanda cat merah. Beberapa warga yang menemani saya mengatakan kalau itu adalah tanda yang dibuat oleh PT. SMI, dengan tujuan yang tidak diketahui. Saat ini, Pemerintah mulai dari dari pusat hingga tingkat desa, telah sepakat untuk memuluskan proyek pembangkit listrik ini. Warga Nunang terpecah. Seketika, harmoni di lembah Sanonggoang menguap pergi begitu saja. Masa depan mereka seakan ada dan tiada. Senyum ramah yang selalu tersaji di wajah tulus orang desa, kini telah berubah menjadi tatapan penuh kecurigaan. Intimidasi sudah semakin sering dialami warga, dan lebih menyedihkan karena itu dilakukan oleh sesama warga Nunang sendiri.
Pemerintah dan investor datang dengan janji membawa kemajuan yang pesat bagi warga Nunang. Tak ada lagi kemiskinan. Nunang yang terpencil akan segera menjadi sebuah kota kecil, demikian kata mereka dalam setiap sosialisasi. Sebagai gantinya, warga Nunang harus rela kehilangan ikatan sakralnya dengan alam Sanonggoang yang memelihara mereka turun – temurun. Mereka harus merelakan kicauan burung – burung di Tewasano hilang ditelan deru mesin pengebor sumur panas bumi. Mereka harus menukarnya dengan ikatan persaudaraan yang diwariskan nenek moyang mereka secara turun- temurun. Bahkan bukan tidak mungkin, mereka juga harus merelakan kampung halaman mereka untuk ditinggalkan tanpa penghuni. Mereka harus menukar semua janji itu dengan kenangan dan harapan yang mereka miliki. Harga yang tentu saja terlampau mahal.
Di mata saya, ini adalah senjakala Sanonggoang. Akhir dari kisah indahnya yang selama ini membawa namanya dikenal hingga ke negeri yang jauh. Setiap kesempatan bisa jadi adalah kesempatan yang terakhir, seperti kicauan burung – burung dan kemegahan bentang alam Sanonggoang di pagi ini, bisa jadi esok semuanya tak berbekas lagi. Lamat -lamat terdengar suara Iwan Fals menyanyikan lagu “Ujung Aspal Pondok Gede” memenuhi kepala, seiring matahari yang kian meninggi, dan kicauan burung yang kian sunyi.